Warga Lahat Tolak Rencana Mobilisasi Truk HD Menuju Dizamatra: Belum Selesai Masalah Lama, Datang Masalah Baru!

PALEMBANG – Belum mereda kegaduhan akibat empat truk Heavy Duty (HD) milik PT Putra Perkasa Abadi (PPA) yang dengan berani melintas di jalan umum menuju site PT Mustika Indah Permai (MIP) di Muara Enim, publik kembali dikejutkan.

Beredar informasi bahwa mobilisasi truk-truk raksasa itu tidak hanya mengarah ke MIP, tetapi juga menuju site PT Dizamatra Powerindo (Dizamatra) di Kabupaten Lahat—wilayah yang selama ini sudah porak-poranda oleh aktivitas angkutan batu bara.

Konfirmasi tersebut datang langsung dari pihak Eksternal Relation PPA, Mansyur yang menyatakan secara gamblang bahwa perusahaan kini mengelola empat site besar di Sumatera Selatan, termasuk site Dizamatra yang mulai beroperasi pada 2026 dan ditangani oleh anak usaha mereka, PT Antareja Mahada Makmur (AMM).

AMM secara penuh akan menangani aktivitas inti pertambangan, mulai dari overburden removal, coal getting, coal hauling hingga ROM management, dengan target produksi bertahap mencapai 7 juta ton batu bara per tahun. Produksi itu disebut akan memenuhi kebutuhan ekspor serta menjadi pasokan bagi PLTU Keban Agung berkapasitas 2 x 135 MW yang dikelola PT Priamanaya Energy.

“Operasional akan dimulai pada tahun 2026. Untuk site Dizamatra Powerindo, kami sudah menyiapkan armada, SDM, serta sistem operasional terintegrasi untuk mendukung produksi jangka panjang,” kata Mansyur. Dari informasi yang dihimpun, AMM bahkan mendapatkan kepercayaan mengelola volume pekerjaan mencapai 100 juta bank cubic meter (BCM).

Namun, di tengah persiapan tersebut, isu yang paling menyita perhatian adalah dugaan bahwa AMM akan kembali menggunakan akses jalan publik untuk mobilisasi truk HD—seperti yang sebelumnya telah memicu amarah publik. Kabar bahwa truk HD berpotensi kembali melintas di jalur publik Kabupaten Lahat sontak memicu gelombang keresahan.

Lahat bukan wilayah baru dalam urusan beban industri tambang. Selama bertahun-tahun, warga Merapi Barat dan sekitarnya telah hidup berdampingan dengan truk angkutan batu bara yang melintas sepanjang malam, merusak jalan berulang kali, dan memicu kecelakaan. Tragedi runtuhnya Jembatan Muara Lawai menjadi puncak penderitaan itu—dan hingga kini belum terselesaikan.

“Kalau benar truk HD mau lewat lagi, larang dulu. Kami sudah cukup sengsara,” tegas Solihin, warga Merapi Barat, yang suaranya mewakili masyarakat. Ia menegaskan, masyarakat bukan menolak investasi—tetapi menolak menjadi korban untuk kesekian kalinya. Truk HD di jalan umum bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan publik. Dengan dimensi ekstrem dan bobot masif, kendaraan ini tidak layak berada di jalan umum mana pun.

Ketua Yayasan Anak Padi, Sahwan, turut menyoroti kelalaian pemerintah dan perusahaan yang dinilai abai terhadap dampak sosial. “Perbaikan Jembatan Muara Lawai saja terkatung-katung. Ini malah mau lewat truk yang lebih besar lagi,” ungkapnya. Ia menegaskan bahwa warga hidup setiap hari berdampingan dengan jalan rusak, debu, dan risiko kecelakaan. “Kalau perusahaan mau masuk, bangun dulu jalan khusus. Jangan pakai jalan rakyat lagi,” desaknya.

Dizamatra dalam Sederet Pelanggaran

Kekhawatiran publik bukan sekadar soal mobilisasi truk HD. Rekam jejak Dizamatra sendiri menyimpan sederet persoalan yang belum terselesaikan. Debu batu bara dari pelabuhan di Muara Belida pernah dikeluhkan warga Patra Tani, meninggalkan dampak kesehatan dan kenyamanan yang nyata. Kompensasi yang diberikan justru dianggap sebagai solusi semu, hanya menambal luka tanpa memperbaiki akar persoalan.

Belum selesai persoalan lingkungan, muncul dugaan penyerobotan aset Pemprov Sumsel berupa lahan sekitar 2.000 meter persegi yang digunakan untuk akses ke pelabuhan. Selama bertahun-tahun lahan itu dipakai tanpa legalitas. Penyelesaiannya justru diarahkan melalui skema sewa yang muncul belakangan, seolah pelanggaran sebelumnya dapat diputihkan dengan kesepakatan baru. Sikap gamang pemerintah dalam penegakan aturan inilah yang memicu penurunan kepercayaan publik.

Menanggapi rangkaian persoalan ini, DPRD Sumsel pun bersuara keras. Anggota Komisi IV DPRD Sumsel, Zulfikri Kadir, sebelumnya telah menegaskan bahwa seluruh perusahaan tambang dan kontraktornya wajib patuh pada ketentuan yang berlaku. “Semuanya ada aturan. Kalau tidak taat, ya angkat kaki saja dari Sumsel,” ujarnya.

Nada serupa dilontarkan Anggota Komisi IV DPRD Sumsel dari Partai Demokrat, MF Ridho. Ia menilai mobilisasi alat berat di jalan umum adalah pelanggaran nyata dan membahayakan masyarakat. “Kalau terbukti melanggar, harus disanksi. Titik,” tegasnya.

Direktur Eksekutif SIRA, Rahmat Sandi, mengkritik keras penggunaan truk raksasa di jalan umum yang bukan peruntukannya. “Kami tidak anti investasi. Tapi kalau PT PPA tetap memaksa menggunakan truk HD di jalan umum tanpa izin, lebih baik angkat kaki dari Sumsel,” tegasnya. Ia menyebut tindakan itu sebagai bentuk arogansi perusahaan. “Ini tindakan arogan yang seolah-olah menempatkan perusahaan di atas hukum,” tambahnya.

Rahmat juga mendesak DPRD Sumsel dan DPRD Muara Enim untuk tidak tinggal diam. “Fungsi wakil rakyat itu mengawasi. Dorong pemerintah menjatuhkan sanksi keras, evaluasi Dinas Perhubungan Sumsel,” ujarnya. Ia bahkan mendorong tindakan lebih tegas terhadap unit-unit pelanggar. “Kalau perlu, kerangkeng dulu truk HD yang sudah melintas sebagai efek jera. Jangan menunggu ada korban baru bertindak,” pungkasnya. (ril)