Mobilisasi Truk HD Putra Perkasa Abadi Disetujui Dishub, Dikawal Polisi: Gubernur Dinilai Gagal Lindungi Warganya

SUMSEL – Skandal izin mobilisasi truk Heavy Duty (HD) yang sebelumnya disorot Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA) akhirnya menemukan titik terang. Klarifikasi PT Putra Perkasa Abadi (PPA) justru menguatkan dugaan adanya koordinasi resmi antara perusahaan, Dinas Perhubungan (Dishub) Sumsel, dan Kepolisian dalam mobilisasi truk HD yang sempat memicu kemarahan publik.

Dalam aksi demonstrasi di Kantor Gubernur Sumsel pada Kamis (4/12), SIRA menuding pemerintah membiarkan mobilisasi alat berat yang berpotensi membahayakan keselamatan umum. Mereka menyebut truk HD milik PPA dapat melintas menuju site PT Mustika Indah Permai (MIP) karena adanya skandal perizinan.

Dugaan tersebut menguat setelah PPA memberikan klarifikasi. Melalui Eksternal Relation, Mansyur—didampingi Kuasa Hukum Jilun—perusahaan mengakui empat unit HD dimobilisasi melalui koordinasi resmi dengan Dishub Sumsel, bahkan dikawal polisi berdasarkan Surat Perintah Pengawalan Dirlantas Polda Sumsel Nomor: Sprin/137/XI/HUK.6.6/2025 yang ditandatangani Kasat PJR, Kompol Mamad Dana Prawira pada 10 November 2025.

“Semua sudah kami koordinasikan dengan kepolisian maupun Dishub. Mobilisasi dilakukan sesuai aturan,” ujar Mansyur. Ia menyebut video viral sebelumnya “tidak utuh” karena tidak memperlihatkan posisi petugas pengawalan yang berada sekitar 200 meter di depan rombongan. PPA menegaskan mobilisasi hanya terjadi satu kali pada 13 November 2025.

Namun klarifikasi ini justru memperkuat tudingan SIRA mengenai dugaan pembiaran dan pelanggaran prosedur. Dalam orasinya, Direktur Eksekutif SIRA, Rahmat Sandi, menegaskan perusahaan tidak mungkin berani mengoperasikan kendaraan raksasa tanpa restu instansi terkait. “Ini bukan sekadar kesalahan teknis. Ini pembiaran. Ada skandal izin yang harus diusut tuntas,” tegasnya.

SIRA menyebut Dishub Sumsel gagal menjalankan fungsi pengawasan karena kendaraan yang jelas tidak sesuai kelas jalan tetap dibiarkan melintas. Rahmat menilai izin tersebut membuat Gubernur gagal melindungi warganya, bahkan lebih fatal jika Gubernur Herman Deru tidak mengetahui surat izin itu dikeluarkan Dishub. “Kami mendesak evaluasi total, bahkan pencopotan, bila terbukti ada kongkalikong,” ujarnya.

Dugaan Permainan Dishub Sumsel

Sebelumnya, ketegasan Gubernur Herman Deru yang menuai apresiasi setelah mencabut Pergub Nomor 23 Tahun 2012 dan menerbitkan Pergub Nomor 74 Tahun 2018 rupanya tidak cukup membendung dugaan permainan terkait truk batu bara di lapangan. Hanya tiga hari setelah Pergub baru disahkan, muncul Surat Toleransi Angkutan Batu Bara Nomor 551.2/4151/5/DISHUB yang ditandatangani Kepala Dinas Perhubungan saat itu, Nelson Firdaus.

Surat bertanggal 8 November 2018 tersebut memberi izin khusus bagi truk batu bara melintas di sejumlah ruas jalan umum pada malam hingga dini hari, pukul 18.00–05.00 WIB. Ruas itu mencakup Lahat–Stasiun Sukacinta, Lahat–Banjarsari, Lahat–Talang Jambu, hingga Tanjung Enim–PT Semen Baturaja. Kontroversinya, surat itu tidak ditembuskan kepada Gubernur maupun Biro Hukum Pemprov.

Dalam perkembangan terbaru, Gubernur kembali mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 500.11-004-Instruksi/Dishub/2025 yang melarang total angkutan batu bara melintas di jalan umum, menyusul ambruknya Jembatan Muara Lawai. Namun, pengamat kebijakan publik Bagindo Togar menilai situasi ini menunjukkan buruknya tata kelola dan lemahnya koordinasi di Pemprov Sumsel.

“Bagaimana mungkin surat yang memberi izin penggunaan jalan umum tidak ditembuskan ke Gubernur? Ini bukan semata administrasi—bisa jadi ada permainan lebih dalam,” ujarnya. Ia menilai keluarnya Surat Toleransi hanya tiga hari setelah Pergub ditandatangani merupakan bentuk sabotase terhadap kebijakan Gubernur sendiri.

Di tengah polemik itu, muncul dugaan transaksi gelap antara oknum pejabat Dishub dan perusahaan angkutan. Aktivis anti-korupsi menyebut perusahaan diminta menyetor antara Rp200 hingga Rp500 juta setiap enam bulan untuk mendapatkan izin, yang dibuktikan dengan stiker khusus pada truk sebagai tanda telah “berkoordinasi” dengan oknum Dishub.

Stiker tersebut diduga dikeluarkan oleh salah satu kepala seksi angkutan jalan berinisial Ab. Salah satu perusahaan yang disebut terlibat adalah PT Tiga Putri Bersaudara (TPB). Dalam insiden jembatan Muara Lawai, stiker yang ditemukan di salah satu truk milik perusahaan keluarga Wakil Bupati Lahat Widya Ningsih itu bahkan disebut dicopot secara diam-diam oleh oknum setelah kejadian.